Rabu, 25 Februari 2009

Kupu-Kupu Singgah di Bulan

Sepertiga malam kedua baru mulai setengahnya. Suara-suara alam menyisakan nyanyian kealamian sejati, sesejati sinar matahari jam dua belas siang. Tadi siang ramai hiruk-pikuk. Ada ribut-ribut. Semula aku mengira ada yang kebakaran. Perkiraanku meleset seratus persen. Warga RW sebelah
yang rumah-rumahnya digusur membakari ban-ban bekas di jalan raya. Aparat pun datang. Keributan sempat terjadi, cuma berakhir begitu saja. Meninggalnya papa dan penggusuran warga RW sebelah mengalungkan trauma di benakku. Mungkin di benak Mazeda dan mama juga. Takdir selalu tak terpecahkan.
Kematian dan penggusuran adalah takdir. Kematian sama dengan penggusuran paksa dari dunia ini dan penggusuran adalah bagian dari kematian kecil yang terus beproses. Mazeda terus merasa ingin tahu tentang takdir. Akhir-akhir ini ia jadi terobsesi segala sesuatu tentang Tuhan. Malah ia belakangan terlihat rajin membaca buku-buku agama. Sebelumnya, nggak pernah kebayang dia bisa seperti itu. Biasanya selain buku pelajaran, Mazeda menghabiskan waktunya untuk memelototi halaman-halaman majalah remaja, kadang-kadang tabloid yang mengupas gosip-gosip selebritis. Perubahan memang selalu mencengangkan. Apa ini yang dinamakan takdir?
Tuhan,
aku belum pernah bertemu dengan-Mu,
wajar bila salah aku mengenali-Mu,
ampunilah aku!
Tuhan,
mampukah aku menggapai-Mu
bukankah Engkau selalu tergapai dan bisa digapai?
Sobekan kertas berisi puisi itu aku temukan kemarin di lantai luar samping kamar Mazeda, persis di bawah jendela kamar. Aku mengenali tulisannya. Ya, tulisan itu memang tulisan Mazeda. Tampaknya Tuhan mulai jadi tema segala hal yang dituliskannya belakangan ini baik di puisi, cerpen, diary, maupun di coretan-coretannya. Tuhan memang telah menyibukkan hari-harinya. Sobekan kertas itu jelas bukan yang pertama. Kemarin aku menemukan tulisan ini di inbox ponselnya, yang ternyata dikirim dari nomer Mazeda sendiri:
“Banyak orang yang mengaku bertuhan, tetapi justru lebih tidak bertuhan daripada orang yang tidak bertuhan. Ah, apa ada orang yang tidak bertuhan? Orang yang mengaku tidak bertuhan bagiku tetap bertuhan. Tuhannya adalah keinginannya untuk tidak bertuhan itu. Ada lagi, orang yang beragama X menganggap orang yang beragama Y gila! Sebaliknya, orang yang beragama Y menganggap orang yang beragama X sinting! Lalu, dari mana kebenaran suatu agama itu diukur?”
Yang jelas sekarang ini Mazeda tampak ingin melihat Tuhan dengan caranya sendiri, meski ia tetap meyakini agama yang diyakininya. Aku setuju dengan Mazeda. Tuhan memang selalu bisa dilihat dengan cara yang berbeda. Begitu juga takdir. Sayangnya, manusia tak mau melihat Tuhan dengan cara yang berbeda. Ia ingin melihat Tuhan seperti Tuhan yang dilihat temannya, sementara Tuhan tidak mau dilihat dengan cara yang sama. Ini yang aku lihat dari Mazeda belakangan.
Mazeda pasti sudah tidur. Kamarnya ada di sebelah kamarku. Mama beberapa hari ini sering tidur menemani Mazeda. Keduanya sama-sama berusaha menghibur diri. Mungkin hanya aku di rumah ini yang masih tegar dari semula menghadapi takdir pahit kehilangan papa. O iya, ada nggak sih takdir pahit itu? Katanya semua takdir itu indah?
Tidurlah, adikku! Tidurlah mamaku! Wanita memang selalu kelihatan rapuh. Padahal, semua manusia berpotensi untuk rapuh, termasuk aku. Mungkin karena wanita saja yang lebih sering diekspos untuk tampak rapuh?
Papa menghadap Sang Esa karena tak mampu melawan stroke yang tiba-tiba dideritanya. Sebelumnya tak pernah tampak ada gejala stroke pada papa. Bahkan, sebagian tetangga ada yang menganggap kematian papa akibat perilaku jahiliah salah seorang tetangga yang iri melihat kesuksesan papa. Cuma aku tidak begitu saja percaya.
Malam itu aku sedang bersiap menghentikan aktivitas syaraf mataku. Aku sudah merebahkan tubuhku di atas ranjang tempat tidurku. Seperempat jam yang lalu aku baru selesai menulis makalah buat presentasi kuliah besok. Komputerku sudah aku shut down lima menit lalu. Belakangan aku dan Mazeda selalu berusaha tampak rukun dan akrab di depan mama. Dulu waktu masih ada papa, kami memang sering nggak akur. Bagi kami, itu resiko kakak-beradik yang berumur tak terpaut jauh.
Sebetulnya kami berdua sama-sama ingin punya adik lagi. Papa dan mama tampaknya juga punya keinginan yang sama. Tapi, rupanya Tuhan punya kehendak lain. Takdir kembali menghalangi keinginan kita.
“Tuhan dengar kita nggak sih, Kak?” ucap Mazeda setiap kali ingat akan keinginan kita itu.
Aku biasanya segera menimpali, “Tuhan pasti dengar kita. Cuma kita aja yang terlalu maksa Tuhan untuk selalu dengerin keinginan kita, sementara kita nggak pernah mau sepenuh hati ngertiin keinginan Tuhan.”
Sampai saat ini aku belum tahu pasti apa yang menjadi minat Mazeda. Bakat tulis-menulisnya memang mengagumkan. Cerpen-cerpennya beberapa kali menghiasi halaman majalah remaja. Tapi, aku belum tahu apa bidang itu akan ditekuninya terus atau tidak. Anaknya memang begitu. Susah ditebak. Mazeda itu kupu-kupu. Sekarang ini dia sedang singgah di bulan. Selama positif, aku sih berusaha untuk tidak mengatur jalan hidupnya. Biar dia sendiri yang mengaturnya. Aku cuma seorang kakak dan bukan Tuhan. Takdir bukan berada di tanganku.
***
dikutip dari Sumber : http://cahaya-islam.com



Tidak ada komentar:

Posting Komentar

Baca juga yang ini .......

Berita Nasional